Jumat, 19 Maret 2010

Tak Terasa Harga Obat Naik Ratusan Persen

KESRA-- 14 SEPTEMBER:

Terhitung dalam periode 1 Agustus 2007 hingga 10 September 2007, ditemukan puluhan jenis (item) produk obat yang mengalami kenaikan harga cukup tinggi.

Umumnya persentase kenaikan berkisar antara 5-15%, namun terdapat pula beberapa produk yang melonjak cukup tinggi, yakni kenaikannya bisa mencapai 176%-229%.

Fakta tersebut diambil berdasarkan survei yang dilakukan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) pada periode Agustus hingga September 2007.

“Kenaikan harga obat tentunya sangat ironis dan makin menambah beban rakyat, mengingat menjelang lebaran, harga-harga sembako dan minyak tanah mengalami kenaikan cukup tajam,” papar Ketua YPKKI Marius Widjajarta, pada Media Indonesia di Jakarta, Jumat (14/9).

Secara tegas, Marius mengkritik industri farmasi yang secara periodik tetap menaikkan harga obat setiap tahunnya. Padahal, menurut analisa, kenaikan harga obat dipicu semata-mata oleh faktor hanya untuk mempertahankan laba dari perusahaan farmasi tersebut.

Pasalnya, selain tingkat inflasi yang dialami Indonesia pada tahun ini sangat kecil, harga bahan baku farmasi yang dipasok dari China dan India sama sekali tidak mengalami kenaikan. Dengan demikian, tidak ada alasan kuat untuk menaikkan harga obat.

Kalau mau jujur, lanjut Marius, harga obat yang dipasaran saat ini telah jauh di atas harga produksi. Margin keuntungan industri farmasi saat ini rata-rata berkisar 50%-200%.

“Dengan nilai keuntungan yang luar biasa tersebut, dapat dilihat secara mata telanjang praktik program diskon dan maraknya penyuapan terhadap dokter-dokter oleh oknum produsen farmasi.”

Survei mencatat, pada Agustus 2007, perusahaan farmasi seperti Sanbe Farma, menaikkan harga obat-obatan ethical (obat resep dokter) rata-rata 5%. Perusahan farmasi lainya pada bulan yang sama, yakni Interbat untuk produk Isoric 100 dan Isoric 300, menaikkan harga produknya tersebut sebesar 5%-10%.

Kemudian Actavis menaikkan produk obat ethicalnya sebesar 5% dan Pharos juga menaikkan obat ethicalnya di bulan Agustus sebesar rata-rata 9%-14%.

Pada September 2007, Kalbe Farma, Dankos dan Saka Farma menaikkan harga obat Out the Counter (OTC-obat tanpa resep dokter) rata-rata 5%. Sedangkan pada bulan yang sama, Ferron menaikkan obat ethicalnya sebesar 5% dan Inmark juga menaikkan rata-rata obat ethicalnya sebesar 7%-9%.

Kenaikan harga obat tersebut semakin memperlebar perbandingan harga obat generik, dengan obat paten serta obat generik bermereknya.

Beberapa contoh perbandingan yang sangat ekstrem antara lain, obat generik jenis Diazepam 2, yang harganya hanya Rp13 per butir, oleh Roche sebagai perusahaan inovatornya (paten), Diazepam 2 dengan merek Valium 2 dijual seharga Rp1.877 per butir atau perbandingannya setara dengam 1 : 144.

Diazepam 2 juga dijual dalam bentuk generik bermerek oleh PT Sanbe Farma, dengan merek obat Valisanbe 2, yang dijual seharga Rp182 per butirnya, atau 1 : 14.

Perbandingan kenaikan harga yang cukup tinggi dengan obat jenis generiknya ini dirasa Marius cukup aneh, mengingat obat-obat tersebut telah habis masa patennya (masa paten umumnya 20 tahun setelah obat ditemukan oleh inovator-red).

Di luar negeri, sambung Marius, bila sudah di luar massa paten, perusahaan farmasi kehilangan hak eksklusif dari produk temuannya, dan harus menjual produknya dengan harga generik dan perusahan farmasi lain boleh membuat salinan resep formulanya.

“Namun di sini lain, selain obat sudah off paten masih dijual dengan harga paten, malah dibuat pula obat jenis generik bermereknya,” tutur Marius heran.

Beberapa contoh lainya, seperti obat generik jenis Piroxicam 20, yang per butirnya hanya seharga Rp102, dijual oleh perusahaan farmasi patennya, Pfizer, dengan diberi label Feldene 20 dengan harga Rp9.419 per butirnya (1 : 92).

Sedangkan Interbat menjual Piroxicam 20, dalam bentuk generik bermerek dengan harga berbanding 1 : 16. Contoh lain, generik jenis Omeprazole 20, yang hanya dijual Rp783 per butir, dijual oleh perusahaan inovatornya, yakni Astra, dengan merek Losee 20, seharga Rp18.291 per butir (1 : 23).

Sementara, Sanbe Farma menjual secara generic, dengan diberi label Pumpitor 20, seharga Rp10.258 per butir (1 : 13).

Contoh perbandingan lain, generik Alopurinol 100, seharga Rp113 per butir, dijual oleh inovator Glaxo Wellcome dengan merek Zyloric 100 dengan perbandingan 1: 16, sedangkan generic bermereknya, yakni Interbat, yang dijual dengan label Isoric 100, dijual dengan perbandingan 1 : 16.

Tidak hanya itu YPKKI juga menemukan fakta bahwa obat generik ada yang dijual di atas harga eceran tertinggi (HET). Nama produk tersebut adalah Amoksilin 500 dengan produsen Indofarma dan Kimia Farma. Harga HET-nya seharusnya Rp31.250, namun dijual di apotek seharga Rp44.250.

Temuan lainya adalah jenis Asam Mefenamat 500, buatan Kimia Farma, yang harga HET-nya hanya Rp13.750, dijual di toko obat dan apotek seharga Rp17.024.

“Hasil temuan kita, kenaikan harga bukan dilakukan oleh toko obat, tetapi oleh produesn, kita ada bukti faktur,” tandasnya.

Tidak langgar aturan

Perihal perbandingan harga yang sangat tinggi antara generik dengan paten dan generik bermereknya di pasaran umum, Marius mendesak agar perbandingan ditetapkan dengan generiknya, maksimal 1 : 3.

Hal ini sesuai dengan SK Mnekes No.696/Menkes/PER/VI/2007 tentang Obat Generik Pada Sarana Pelayanan Kesehatan Pemerintah.

“Sayangnya peraturan 1 : 3 hanya berlaku bagi obat generik yang dibeli pemerintah, Seharusnya untuk masyarakat umum juga berlaku seperti itu,” tandasnya.

Karena itu, di Indonesia saat ini perlu diberlakukan sistem rasio perbandingan terkendali antara harga obat generik, obat inovator dan obat generik bermerek.

Kebijakan seperti ini, sudah banyak diterapkan di negara-negara lain. Sedangkan bagi industri farmasi yang melanggar HET, diharapkan pemerintah menindak tegas mereka.

“Kalau perlu dengan UU Konsumen dengan denda maksimal Rp2 miliar dan kurungan 5 tahun,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Bina Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes Richard Panjaitan menyatakan perbandingan yang tinggi antara generik dengan paten dan generik bermerek di masyarakat umum tidak melanggar peraturan.

“Karena itu, saat ini sedang dibahas undang-undangnya. Pemerintah hanya bisa mengatur 1 : 3 hanya di tempat layanan kesehatan umum yang dibeli pemerintah,” tandasnya.

Perihal harga jual obat generik di luar HET, Richard menandaskan, akan mempelajari lebih dahulu temuan tersebut. (miol/pd)


http://www.menkokesra.go.id/content/view/5158/

0 komentar:

Posting Komentar